Selasa, 22 Juni 2010

@ merlion

Singapore.
8 hari 7 malam menjelajahi Singapore.
hanya berbekal sedikit uang pengalaman, bahasa inggris dan bahasa mandarin (super minim) akhirnya berangkatlah dua orang gadis remaja 16 tahun ke negara singa.
mengitari ujung sampai ujung.
berbelanja hingga kaki kaki mau patah.
penyesalan juga sering di dapatkan.
adu.. saia pengen cerita dari hari pertama sampai trakhir.
cuma masih jetlag. males. pusinkk.. kpala ga enakk.
dari pertama kali sampai dan melakukan kebodohan kebodohan yang bodoh dari pertama sampai terakhir.
banyak pngalaman. cuma bingung gmna mau ceritanya. nanti lah. kapan" saia lanjutin..

part 2

Ketika kesedihan membasahi ingatanmu dan airmata membasahi pipimu.

Di saat waktu membawa bayangan kelam dari sebuah ingatan yang menghantuimu.

Jikalau kau bisa sadar lebih lambat atau lebih cepat mungkinkah ada sesuatu yang berubah.

Akhirnya pula si takdir berteriak bahwa kebahagiaan bukanlah tujuan hidupmu.

Tapi menyatukan kepingan dari serakan kaca adalah pekerjaan yang membawamu dalam satu satunya kebahagiaan yang berhak kau miliki.

Ketika diri yang selalu menang akhirnya terkalahkan oleh permainan masa lalu dan takdir.

Waktu mengunci langkah dan semuanya akhirnya harus berubah.

Sang pemegang poros mengijinkan segalanya untuk memulai satu lembaran baru.

Di lembaran itu pula, aku tak lagi tampak.

Aku hanyalah bagian dari sebuah masa lalu dan dia yang masa lalu adalah masa depan.

Pertama kali aku melihatnya aku tersadar bahwa aku yang akan berdiri di sana kelak.

Terbujur kaku di atas pelataran dan permadani serba putih.

Di saat itu pula aku terbangun dan menyadari bahwa tak ada suara yang dapat kukeluarkan.

Ketika aku mencoba berteriak aku sadar kini aku hanya sendiri di padang pasir.

Ketika aku mencoba berlari aku sadar bahwa jalanan ini buntu.

Semua tercekat hanya sampai di ujung lidah saja.

Waktu hanya mengijinkanmu mengakhiri kisahmu dengan tinta hitam di atas putih.

Kini telah tiba waktunya aku untuk jujur.

Aku menangis dengan jutaan tetesan airmata.

Ketika aku tahu bahwa memang aku harus mengalah dan pergi.

Aku sadar bahwa hati teriris.

Sayatan sayatan di tubuhku bahkan tak dapat lagi kurasakan perihnya.

Ketika aku menyadari bahwa musim ini yang menemukan dan musim ini pula yang memisahkan.

Haruskah aku membencinya atau justru berterimakasih padanya.

Kenangan dari masa lalu yang sempat tersembunyi tak dapat selamanya ku simpan.

Gadis itu berhak tahu,

dan anak laki laki itu dia berhak menghentikan penantiannya.

Jujur aku berniat merebut gadis itu dan semakin menenggelamkan kenangan yang telah ia lupakan.

Namun, akhirnya aku tersadar bahwa kenangan itu adalah milik mereka.

Aku tahu bahwa bagi sang gadis sang anak lelaki hanya sebuah mimpi.

Namun, tiada letih penantian anak lelaki itu membuatku harus mengalah.

Bahkan aku harus mengalah karena sang takdir yang mendatangiku secara langsung.

Kedua orang yang ingin kau bahagiakan adalah kedua orang yang akhirnya membuat kau harus pergi jauh dan menyerah.

Mungkinkah bahwa tanpa diri ini sadari dunia sedang membantuku untuk mencari jalan yang tersisa ketika menemukan jalan buntu.

Ya. Aku yakin begitu adanya.

Daratan dan lautan kini enggan berada di pihakku.

Namun bumi dengan senantiasa mendampingiku untuk mengakhiri sebuah kisah yang harus diakhiri sebelum segalanya harus benar benar berakhir.

Aku ingin menceritakan tentang sang gadis,

Pertama kali aku tersadar bahwa aku yang akan terkalahkan dan sisa tenagaku hanya dapat kukerahkan untuk menyatukan pecahan permainan yang telah lama terselubung oleh waktu. Ketika aku sadar tepat pada waktunya di posisi mana akhirnya aku akan berada. Ketika diri ini menceritakan kenangan milik sang gadis, sang gadis menolak mengingatnya. Baginya sang pangeran berkuda putih itu hanya bagian dari dunia alam bawah sadarnya saja. Ketika aku melihat penolakan dari mata sang gadis, aku seakan dikirimkan celah cahaya terakhir untuk mempertahankan kebahagian yang adalah kehancuran terbesar bagi orang yang kamu kasihi. Aku akhirnya berpaling pada arah yang tak kuinginkan. Bukan cahaya itu yang kukejar namun justru aku berlari ke arah sebuah bayangan penuh kekelaman yang akhirnya menampakan warna putih yang begitu bercahaya.

Akhirnya aku mengalah dan pergi meninggalkannya tepat di musim yang mempertemukan diriku dan dirinya. Salju itu tetap sama, dedaunan, jalanan, semuanya masih tetap sama.

Tapi ada satu yang benar benar berubah tangan itu kini di genggam bukan oleh tangan ini tapi oleh tangan seseorang yang selalu menggenggam tangan ini.

Aku harus pergi dan mengalah. Kuletakkan kebahagiaan mereka menjadi kebahagiaan satu satunya yang masih tersisa. Namun aku tak akan berhenti mencintai sang gadis karena aku telah berjanji pada sang musim semi ketika ia kembali maka aku juga akan kembali untuk memeluknya dan enggan melepasnya kembali.